Ingin dapat penawaran khusus untuk Anda? Konsultasi sekarang!

Hal-hal yang Diperbolehkan Setelah Tawaf Wada

17 June 2025 ditinjau oleh Tim Khidmat jejak imani

article-thumbnail

Jika seseorang sudah melaksanakan tawaf wada, lalu kembali lagi ke Masjidil Haram untuk sholat fardhu karena adanya renggang waktu untuk menunggu kepulangan, apakah diperbolehkan? Dalam hal ini maka boleh baginya untuk kembali ke Masjidil Haram dan sholat fardhu, lalu kembali lagi ke hotel untuk menunggu bus, diperbolehkannya hal ini dengan syarat bahwa niatnya bukanlah untuk mukim, tetap karena hanya sembari menunggu kepulangan yang tinggal beberapa jam saja.

Hal ini ditegaskan dalam kitab Al-Idhoh karya Al-Imam Ar-Rayyāni Yahya bin Syaraf An-Nawawiy

“Tawaf wada’ dilakukan setelah selesai rangkaian amalan haji kemudian keluar tanpa berdiam diri di tanah haram. Jika dia tinggal di tanah haram setelah tawaf wada’ tanpa uzur syar’i atau sibuk dengan sesuatu tanpa sebab seperti belanja, membayar hutang, berziarah ke teman dekat, mengunjungi orang sakit dan sebagainya maka dia wajib mengulang tawaf wada’. Akan tetapi jika kesibukannya seperti mempersiapkan kepulangan tanpa berniat tinggal maka tidak perlu mengulang tawaf wada’. Demikian pula jika waktu salat tiba kemudian dia melaksanakan shalat berjamaah (di Makkah atau Masjidil Haram) maka tidak wajib mengulang tawaf wada’”

Dari perwakilan Madzhab Hanafi, ada al-Imam al-Kāsāniy dalam Bada'i Sana'i sebagai berikut:

"Adapun bersegera keluar (dari Makkah) setelah tawaf (wada’) bukanlah syarat sahnya (tawaf wada’); sehingga jika seseorang telah melakukan tawaf wada’, lalu menyibukkan diri dengan urusan lain di Makkah setelahnya, maka ia tidak diwajibkan melakukan tawaf lagi. Jika ada yang berkata: Bukankah Nabi ﷺ bersabda: ‘Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah ini, maka hendaklah akhir perjumpaannya dengannya adalah tawaf’? Maka berarti diperintahkan agar tawaf menjadi akhir pertemuan dengan Baitullah. Dan ketika seseorang masih menyibukkan diri setelah tawaf, maka tawaf itu bukan lagi akhir perjumpaannya dengan Baitullah, sehingga seharusnya tidak sah; karena ia tidak menjalankan perintah tersebut. Maka jawabannya adalah: yang dimaksud dengan 'akhir perjumpaannya dengan Baitullah' adalah dalam hal manasik, bukan dalam hal tinggal (berlama-lama). Tawaf merupakan penutup dari rangkaian manasik di Baitullah, meskipun setelahnya ia menyibukkan diri dengan hal lain. Bahkan jika seseorang telah melakukan tawaf wada’ lalu tinggal lama di Makkah, selama ia tidak berniat menetap dan tidak menjadikan Makkah sebagai tempat tinggalnya, maka tawafnya tetap sah, meskipun ia tinggal sampai setahun setelah tawaf tersebut. Hanya saja, yang lebih utama adalah melakukan tawaf wada’ berdekatan dengan waktu keberangkatan."

Dari Madzhab Maliki, sebagaimana nukilan dari al-Imam al-Bāji dalam al-Muntaqa Syarah al-Muwattho':

"Imam Asyhab bin Abdul Aziz — salah satu murid Imam Malik — berpendapat bahwa tawaf wada’ dilakukan sebagai bagian dari manasik (rangkaian ibadah haji), bukan semata-mata karena hendak meninggalkan Baitullah. Maka barangsiapa telah melakukan tawaf wada’, tidak diwajibkan mengulanginya meskipun ia tinggal beberapa hari setelahnya."

Kesimpulan

Para fuqaha (ahli fikih), meskipun berbeda pendapat tentang maksud dari tawaf wada’ apakah itu merupakan bagian dari manasik atau sekadar perpisahan dengan Baitullah, namun mereka sepakat bahwa tinggal di Makkah setelah tawaf wada’ karena keperluan persiapan untuk keluar (bepergian) tidak dianggap sebagai bentuk tinggal (iqamah) yang mewajibkan pengulangan tawaf. Keperluan-keperluan tersebut berbeda-beda tergantung waktu dan kondisi, dan dinilai berdasarkan kebiasaan ('urf) sebagai bagian dari proses keluar dan persiapan perjalanan. Termasuk di dalamnya: kembali ke tempat penginapan (hotel), atau tiba waktunya sholat lalu ia sholat lagi di Masjidil Haram (karena mungkin hotelnya di zamzam tower), menunggu rombongan atau teman perjalanan, serta menunggu jadwal keberangkatan pesawat atau transportasi lainnya—meskipun persiapan tersebut memakan waktu sehari atau lebih—karena semua itu tetap dianggap bagian dari proses keluar dan berpamitan menurut kebiasaan masyarakat.

Dan penulis cenderung memilih pendapat yang membolehkan selama niatnya memang menunggu kepulangan, bukan untuk menetap dan tinggal di Makkah.

Berbeda pendapat tidaklah mengapa, selama dalam bingkai kejujuran dan toleransi antar pendapat para ulama

Wallahua'lam bisshowab.

Dilihat 159 kali