Muslim Wajib Tahu, Batasan Toleransi Pada Umat Non-Muslim
03 December 2025 ditinjau oleh Tim Khidmat jejak imani

Islam lahir dengan wajah damai. Sejak Rasulullah ﷺ membangun Madinah, Islam telah dikenal sebagai agama yang membuka ruang hidup berdampingan baik terhadap Yahudi, Nasrani, Majusi, maupun pemeluk agama lain. Peradaban mencatat bahwa non-Muslim merasa aman berada di tengah umat Islam, bahkan banyak sejarawan non-Muslim mengakui hal ini. Hal tersebut karena umat Islam menerapkan toleransi dalam Islam. Dalam penerapan toleransi dalam Islam terhadap kaum non-Muslim, ada batasnya. Simak penjelasan berikut!
Islam Menghormati Pilihan Keyakinan
Syariat tidak membenarkan pemaksaan dalam urusan iman. Diriwayatkan, seorang sahabat bernama Husain memaksa dua anaknya yang beragama Nasrani untuk masuk Islam, tetapi keduanya menolak. Peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ
“Tidak ada paksaan dalam beragama.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Fondasinya jelas: Islam menghormati pilihan keyakinan. Allah menolak pemaksaan dalam persoalan akidah. Iman harus lahir dari hati. Manusia memilih sendiri, beriman lalu berbahagia atau ingkar lalu menanggung akibatnya. Islam hadir sebagai jalan, bukan sebagai pemaksa.
Adapun menyoal perbedaan di antara manusia menyoal agama, itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Sebagaimana firman Allah swt:
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu. Namun, mereka senantiasa berselisih (dalam urusan agama)” (QS. Hud: 118)
Maka dasar hubungan Muslim dengan non-Muslim bukanlah permusuhan, tetapi hidup berdampingan secara damai (ukhuwwah insaniyyah). Perbedaan agama tidak boleh menjadi alasan untuk menzalimi, membenci, atau merampas hak kemanusiaan pihak lain. Pesan inipun ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَةَ السَّمْحَةِ
“Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.” (HR. Ahmad)
Toleransi dalam Islam
Sebagai agama yang menjunjung tinggi toleransi, syariat betul-betul mengatur bagaimana sikap toleransi yang harus dimiliki oleh seorang muslim dalam membangun hubungan muamalah dengan non muslim. Khususnya adalah dalam hal berbuat baik dan adil kepada siapapun. Allah berfirman:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ayat ini menjadi fondasi kuat bahwa toleransi dalam Islam, perlakuan baik dan membantu non-Muslim dalam urusan sosial kemanusiaan adalah bagian dari akhlak Islam. Nabi ﷺ juga menerima hadiah dari non-Muslim, menjalin hubungan sosial, bahkan menjenguk tetangga Yahudi yang sakit. Ini menunjukkan keterbukaan Islam dalam interaksi sosial sehari-hari. Menariknya, ayat ini menggunakan kata al-birr, istilah yang biasanya disandingkan dengan kebaikan tertinggi, seperti hormat kepada orang tua (birrul walidain). Artinya, berbuat baik kepada mereka bukan sekadar boleh, tapi dianjurkan dan berpahala selama mereka tidak memerangi umat Islam.
Sikap Rasulullah Pada Umat Non-Muslim
Rasulullah ﷺ sendiri telah memberikan berbagai contoh mengenai sikap toleransi dalam Islam dan hidup berdampingan dengan non muslim. Kita dapat melihat dari berbagai sabda Rasulullah ﷺ. Di antaranya dalam hal menjamin hak-hak non muslim;
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)
Dalam masalah akhlak dan sikap kepada non muslim, Rasulullah ﷺ juga memerintahkan kita sebagai umatnya untuk tetap bersikap dan berakhlak baik:
أَوْحَى اللهُ إِلَى إِبْرَاهِيْمَ يَا إِبْرَاهِيْمُ حَسِّنْ خُلُقَكَ وَلَوْ مَعَ الْكُفَّارِ تَدْخُلْ مَدَاخِلَ الْأَبْرَارِ
"Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi Ibrahim As: 'Perbaikilah budi pekertimu meskipun terhadap orang-orang non-Muslim, maka engkau akan masuk (surga) tempat tinggal orang-orang yang baik'." (HR. Al Hakim dan At Tirmidzi)
Dalam aspek kemanusiaan, ada pelajaran penting yang dapat ditarik dari satu peristiwa di mana Nabi Muhammad ﷺ berhadapan dengan jenazah orang Yahudi. Ketika berhadapan dengan jenazah Yahudi, Nabi Muhammad ﷺ memandangnya dari segi kemanusiaan. Nabi Muhammad ﷺ berdiri untuk menghormati jenazah pemeluk Yahudi Madinah:
عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى أَنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ وَسَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ كَانَا بِالْقَادِسِيَّةِ فَمَرَّتْ بِهِمَا جَنَازَةٌ فَقَامَا فَقِيلَ لَهُمَا إِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَقَالَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جَنَازَةٌ فَقَامَ فَقِيلَ إِنَّهُ يَهُودِيٌّ فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا
"Dari Abdurrahman bin Abi Laila, Qais bin Sa’ad dan Sahal bin Hunaif sedang berada di Qadisiyah. Lalu sebujur jenazah ditandu orang melewati keduanya. Keduanya pun berdiri untuk menghormati. ‘Bukankah jenazah itu adalah (non-Muslim ahludz dzimmah) penghuni dunia?’ tanya orang di sekitarnya. Keduanya menjawab, ‘Satu keranda jenazah digotong orang melewati Rasulullah ﷺ. Beliau kemudian berdiri. Ketika diberitahu bahwa itu adalah jenazah Yahudi, Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Bukankah ia manusia juga?'" (HR Bukhari dan Muslim).
Allah pun melarang kita untuk mengejek dan menghina agama lain. Sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا ۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 108)
Begitupula dengan jaminan sebagai sesama warga negara atau suatu komunitas masyarakat. Bahwa muslim dan non muslim adalah satu umat dalam konteks sosial, kenegaraan dan kemasyarakatan. Adapun dalam masalah keagamaan, ini adalah urusan masing-masing. Hal ini dituangkan oleh Rasulullah ﷺ dalam salahsatu pasal Piagam Madinah:
وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ، لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ، وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ، مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ، إِلَّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ، فَإِنَّهُ لَا يُوْتِغُ إِلَّا نَفْسَهُ، وَأَهْلَ بَيْتِهِ
“Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri. Kecuali bagi yang zalim dan jahat, maka hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.”
Bentuk Toleransi Praktis yang dibenarkan Syariat
- Menjalin hubungan sosial, bertetangga dengan baik
- Bekerja sama dalam urusan kemanusiaan dan kemaslahatan
- Berdagang, tolong-menolong, menjaga hak serta keselamatan mereka
- Menghormati hak beragama dan peribadatan mereka, termasuk menjamin keamanan tempat ibadah mereka
- Menghormati hak kemanusiaan dan kemasyarakatan
- Menjaga sikap, tutur kata lembut dan akhlak mulia
Batasan Toleransi dalam Islam
Di sinilah banyak Muslim sering keliru, mengira bukti cinta damai adalah mengikuti perayaan agama lain, menghadiri ritual ibadah mereka, atau menyetujui keyakinan mereka demi dianggap toleran. Sebagaimana ada ruang, Islam pun memberikan pagar. Maka toleransi dalam Islam memiliki batas tegas:
- Tidak boleh mengikuti aktivitas ritual agama lain.
- Tidak boleh mengucapkan, meyakini, atau membenarkan akidah mereka.
- Tidak boleh menjual prinsip agama demi dianggap modern dan inklusif.
- Tidak boleh melemahkan sikap saat mereka ingin merusak akidah umat.
- Tidak bersikap lunak dan lembek kepada pihak yang berupaya merusak Islam
Al-Quran sendiri telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim dengan non muslim jika berkaitan dengan ritual ibadah dan juga akidah. Bahwa dalam masalah agama, masing-masing agama berjalan dalam koridornya masing-masing, tanpa mengusik dan merusak apalagi menghinakan. Bahwa ketika seseorang meyakini akidah agamanya yang benar, bukan berarti ia menghinakan maupun merendahkan agama lain, melainkan bentuk keteguhan dan loyalitas pada keimanannya.
Adapun dalam masalah memberikan tahniah (ucapan selamat) pada hari raya agama lain, maka para ulama telah membahas ini dari berbagai perspektif dan melahirkan sikap hukum yang beragam juga. Tentunya kita dapat menyesuaikan dengan asas kepentingan dan kebutuhan kita selama hal ini tidak merusak akidah kita sebagai seorang muslim.
Islam adalah agama yang lembut dan damai. Allah secara langsung memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk bersikap lembut kepada non muslim, bekerjasama dengan baik dan bermusyawarah dalam urusan peperangan dan hal-hal duniawi lainnya, seperti urusan politik, ekonomi dan kemasyarakatan. Namun demikian, Allah melarang kita bersikap lembek kepada mereka yang mencoba memusuhi maupun berupaya merusak akidah kita. Sebagaimana firman Allah:
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِۗ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ
“Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka…..” (QS. Al-Fath: 29)
Penutup
Islam mengajarkan keseimbangan: berbuat baik kepada siapa pun, namun tetap menjaga kemurnian iman. Kita boleh tersenyum, bekerja sama, bertetangga, berdagang dan hidup damai, tetapi akidah bukan sesuatu untuk ditawar. Toleransi versi Islam adalah berbuat baik dengan tetap yakin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar bagi kita seorang muslim. Kita bukan umat yang mudah membenci, namun juga bukan umat yang rela kehilangan jati diri demi kata “toleransi”. Karena toleransi bukanlah mencair dalam keimanan, namun membaur dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Dengan pemahaman ini, umat Muslim di mana pun bisa tetap bersahabat, merangkul, dan memberi manfaat bagi semua manusia, sekaligus teguh pada prinsip yang Allah tetapkan. Inilah wajah Islam yang ideal: teduh, bijaksana, namun kokoh dalam keyakinan. Mari bersikap adil, penuh kasih, tetapi tetap kokoh menjaga tauhid. Toleransi sejati adalah memberi ruang bagi orang lain tanpa harus melunturkan iman yang Allah titipkan pada kita. Semoga Allah menjaga hati dan keyakinan kita hingga akhir hayat.
Selain dengan berikhtiar untuk terus mencari ilmu dengan membaca artikel ini, jangan lupa berdoa untuk terus mendapat hidayah-Nya.
Multazam di Baitullah merupakan salah satu tempat berdoa yang mustajab. Anda dapat berkunjung dan berdoa di sana, saat haji dan umroh bersama jejak imani. Dapatkan informasi lengkap terkait haji dan umroh melalui tim jejak imani.
Wallahu a’lam
Dilihat 142 kali


