Ingin dapat penawaran khusus untuk Anda? Konsultasi sekarang!

Lakukan Hal-hal Ini Jika Haid Saat Umroh!

06 May 2025 ditinjau oleh Tim Khidmat jejak imani

article-thumbnail

Haid dan nifas bukanlah termasuk hal-hal yang menghalangi seseorang untuk berihram, dan tidak menyebabkan ibadah haji atau umrah menjadi batal jika terjadi selama dalam keadaan ihram, menurut para fuqaha (ahli fikih). Haid dan nifas juga tidak menghalangi pelaksanaan seluruh rangkaian ibadah haji dan umrah kecuali tawaf, yang masih menjadi bahan perbedaan pendapat.

Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata:

"Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid, dan aku belum melakukan tawaf di Ka'bah maupun sa'i antara Shafa dan Marwah. Maka aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, lalu beliau bersabda:

“Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali jangan tawaf di Ka'bah sampai kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ahmad dalam Musnad, Abu Dawud dalam Sunan, dan at-Tirmidzi dalam Jami’-nya (yang menyatakan hadits ini hasan) meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:

«النُّفَسَاءُ وَالْحَائِضُ إِذَا أَتَتَا عَلَى الْوَقْتِ تَغْتَسِلانِ وَتُحْرِمَانِ، وَتَقْضِيَانِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا، غَيْرَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ»

“Perempuan yang dalam keadaan nifas dan haid, apabila telah sampai pada waktunya (untuk berihram), maka hendaklah mandi dan berihram, dan melaksanakan seluruh rangkaian manasik kecuali tawaf di Ka'bah.”

Para ulama juga sepakat bahwa jika seorang perempuan mengalami haid sebelum melaksanakan tawaf rukun dalam haji atau umroh dan masih memungkinkan untuk menunggu, maka ia wajib menunggu hingga suci, agar dapat melakukan tawaf dalam keadaan suci.

Sedangkan suci dari haid dan nifas merupakan syarat sahnya tawaf, namun bukan syarat sahnya sa’i, menurut jumhur (mayoritas) ulama fikih. Mereka berdalil dengan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan sebelumnya, di dalamnya terdapat larangan bagi perempuan haid untuk tawaf hingga darahnya berhenti dan ia mandi suci.

Larangan dalam perkara ibadah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak sah, sehingga tawaf menjadi batal jika dilakukan dalam keadaan haid. Maka bagi perempuan yang sedang haid atau nifas tetap berihram untuk haji atau umrah dari tempat miqat ihramnya, lalu menunggu hingga suci — menurut pendapat mayoritas ulama. Hal ini berlaku baik jika haid datang sebelum ihram, saat ihram, maupun setelah ihram tetapi sebelum tawaf.

Jika ia telah suci, maka ia mandi (bersuci), kemudian melaksanakan tawaf dan sa’i tanpa perlu mengulangi ihram dari wilayah halal (di luar tanah haram).

Kedua, umrah yang dilakukan haruslah berurutan. Tidak boleh bagi seorang yang haid lalu mendahulukan sa'i nya dulu baru kemudian bila sudah suci baru ia melakukan tawaf, hal ini menyalahi pendapat jumhur ulama.

Mayoritas ulama fikih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dalam pendapat resminya mensyaratkan adanya urutan antara tawaf dan sa’i, yaitu bahwa salah satu syarat sahnya sa’i adalah didahului oleh tawaf yang sah. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam melakukannya dengan urutan demikian, dan juga karena sa’i merupakan ibadah yang mengikuti tawaf dan menyempurnakannya.

Dalam kaidah fikih disebutkan:

"التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى المَتْبُوعِ"

"Yang mengikuti tidak boleh mendahului yang diikuti,"

Hal ini sebagaimana tertulis dalam Al-Asybah wa an-Nazha'ir karya Imam as-Suyuthi (hlm. 119, cetakan Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah).

Meskipun ada pendapat dari kalangan fuqaha (ahli fikih) yang membolehkan seseorang untuk tidak berurutan dalam ibadah umrohnya, tapi ini pendapat minoritas sekali. Datang dari imam 'Atho' dan imam al-Auza'iy rahimahumallah. Sebagaimana keterangan Jamaluddin al-Malathiy sebagai berikut yang menegaskan itu merupakan pendapat minoritas.

"Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa orang yang melakukan sa’i sebelum tawaf, maka sa’inya tidak sah — seakan-akan ia belum melakukannya sama sekali. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari kalangan ulama Hijaz dan Irak selain al-Auza’i, yang mengatakan bahwa sa’i tersebut sah dan tidak perlu diulang setelah tawaf. Pendapat serupa juga diriwayatkan dari ‘Atha’. Disanur dari kitab Al-Mu‘taṣar min al-Mukhtaṣar min Musykil al-Atsar" (1/184, cetakan: ‘Alam al-Kutub)

Hal ini senada dengan imam an-Nawawiy dalam al-Majmu' sebagai berikut:

"Ibnu al-Mundzir meriwayatkan bahwa ‘Aṭā’ dan sebagian ahli hadits berpendapat bahwa sa’i sebelum tawaf tetap sah. Pendapat ini juga dinukil oleh ulama mazhab kami dari ‘Aṭho’ dan Dawud (az-Zahiri)".

Sementara keluar dari pendapat minoritas dengan pendapat mayoritas maka itu lebih selamat, ditambah lagi jika masih ada alternatif lainnya yang disampaikan oleh para ulama.

Kesimpulan dan Solusi

Kesimpulan dan solusi yang diberikan jika seseorang wanita haid belum juga suci dari haidnya, maka ia bisa langsung mandi besar lalu memakai pembalut yang tebal, kemudian bisa langsung menunaikan umrahnya dengan berurutan tanpa perlu mengambil miqat, karena ia masih terikat dengan miqat sebelumnya. Dimulai dari tawaf lalu kemudian sa'i dan diakhiri dengan tahallul. Hal ini bisa dilakukan manakala sudah H-1 atau H-2 ketika akan meninggalkan kota Makkah al-Mukarramah. Sebagaimana difatwakan oleh syaikh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa dan para ulama lintas negara dan kontemporer hari ini. Kemudian juga karena kaidah-kaidah fikih yang berlaku, maka sah umrohnya dan tidak pula terkena dam. Dan tidak perlu untuk kemudian melakukan ibadah umrah dengan tidak berurutan, sebab berurutan dalam melaksanakan umrah merupakan hal wajib.

Untuk mendapat keilmuan, hukum dan bimbingan umroh Anda bisa mendapatkannya lewat bimbingan umroh dari para ustadz di jejak imani. Bagi yang ingin melakukan perjalanan ibadah ke Tanah Suci, Anda dapat mempercayakan perjalanan ibadah haji dan umroh bersama jejak imani.

jejak imani adalah travel haji dan umroh sejak tahun 2012 dengan nama PT JEJAK IMANI BERKAH BERSAMA yang sudah berizin resmi sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dari Kemenag. Anda juga bisa menanyakanan dan konsultasi dengan tim jejak imani terkait kebutuhan selama ibadah umroh di Tanah Suci.

Semoga bermanfaat!

Dilihat 47 kali