Ditulis oleh Rizky Ajeng Andriani / Ditinjau oleh Ustadz H. Jundi Imam Syuhada, Lc., M.IRK. / Sabtu, 27 April 2024
Pertama-tama harus dipahami dulu bahwa haji atau umrah wajib satu kali seumur hidup. Haji sendiri adalah rukun islam kelima, wajib dilakukan jika mampu. Sedangkan Rasulullah ﷺ bersabda:
أيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُم الحَجَّ فَحُجُّوا
“Wahai manusia! Sungguh Allah telah mewajibkan haji atas kamu sekalian, maka kerjakanlah haji” (HR Muslim).
Hajikan Orang Tua Dahulu atau Diri Sendiri?
Ada dua pendapat terkait pertanyaan di atas. Pendapat pertama berasal dari madzhab Syafi’i sedangkan pendapat kedua berasal dari tiga mazhab yaitu Hanafi, Maliki serta Hambali. Apakah kedua pendapat tersebut bertentangan? Pendapat mana yang sebaiknya diikuti? Selengkapnya simak di bawah ini.
1. Pendapat Madzhab Syafi’i
Yang pertama, sesuai fiqih mazhab Syafi’i, orang yang memiliki kemampuan fisik dan finansial, berkewajiban melaksanakan haji tapi tidak diharuskan berhaji secepatnya, boleh ditunda di tahun-tahun berikutnya dengan syarat adanya niat kuat untuk melaksanakannya dan tidak ada potensi resiko kegagalan disebabkan suatu hal misalkan sakit atau bangkrut. Jadi jika kita mencapai satu titik memiliki harta yang berkeluangan atau kaya, tidak harus haji langsung pada hari itu, boleh ditunda.
Tidak seperti shalat harus langsung shalat, haji bisa ditunda dengan catatan harus ada target dan niat misalnya, hajinya nanti empat tahun lagi. Jadi sah-sah saja menunda haji jika ingin menghajikan orang tua terlebih dahulu, apabila ternyata uangnya hanya cukup untuk dua orang, apalagi orangtua sudah sakit-sakitan dan sudah sepuh. Bila sudah menghajikan orang tua, harus niat menghajikan diri sendiri bersama pasangan.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:
وَهُمَا عَلَى التَّرَاخِي بِشَرْطِ الْعَزْمِ عَلَى الْفِعْلِ بَعْدُ وَأَنْ لَا يَتَضَيَّقَا بِنَذْرٍ أَوْ خَوْفِ عَضْبٍ أَوْ تَلَفِ مَالٍ بِقَرِينَةٍ وَلَوْ ضَعِيفَةً كَمَا يُفْهِمُهُ قَوْلُهُمْ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْمُوَسَّعِ إلَّا إنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَمَكُّنُهُ مِنْهُ أَوْ بِكَوْنِهِمَا قَضَاءً عَمَّا أَفْسَدَهُ
“Haji dan umrah (kewajibannya) bisa ditunda, dengan syarat tekad yang kuat mengerjakannya dan tidak menjadi sempit dengan nadzar, kekhawatiran lumpuh atau rusaknya harta dengan sebuah tanda-tanda meski lemah, sebagaimana yang dipahami dari ucapan para ulama: ‘tidak boleh mengakhirkan kewajiban yang dilapangkan kecuali menduga kuat bisa melakukannya’. Atau (kewajiban haji dan umrah menjadi sempit) dengan status qadha dikarenakan ia merusaknya,” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, juz 4, hal. 4-5).
2. Pendapat Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali
Terdapat kaidah fiqh berikut
الْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ
“Mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah makruh, dan di dalam urusan lain disunnahkan.”
Berkaitan dengan kaidah tersebut, Syekh Izzuddin bin Abdissalam sebagaimana dikutip al-Imam al-Suyuthi mengatakan:
قَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ لَا إيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلَا إيثَارِ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا بِالصَّفِّ الْأَوَّلِ ; لِأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ: التَّعْظِيمُ، وَالْإِجْلَالُ. فَمَنْ آثَرَ بِهِ، فَقَدْ تَرَكَ إجْلَالَ الْإِلَهِ وَتَعْظِيمِهِ
“Berkata Syekh Izzuddin; tidak baik mendahulukan orang lain di dalam ibadah-ibadah, maka tidak baik mendahulukan dalam urusan air bersuci, menutup aurat, dan shaf awal. Sebab tujuan ibadah-ibadah adalah mengagungkan Allah. Barangsiapa mendahulukan orang lain di dalam urusan tersebut, maka sungguh ia telah meninggalkan pengagungan kepada Tuhan,” (al-Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 180).
Tiga imam madzahib al-arba’ah selain Imam Syafi’i berpendapat kewajiban haji adalah segera, tidak boleh ditunda. Wajib artinya harus segera ditunaikan, apalagi kaitan dengan rukun islam kelima maka sebaiknya mengugurkan kewajiban diri sendiri dulu, baru orangtua.
Mendahulukan haji untuk diri sendiri dalam konteks ini bukan berarti su’ul adab (beradab buruk) kepada orang tua. Kewajiban berangkat haji pribadi dan berbakti kepada orang tua bukanlah sebuah hal yang patut dipertentangkan, karena seorang anak tetap bisa berbakti kepada orang tuanya dengan mendoakannya saat ia berada di tempat-tempat mustajab seperti Multazam.
Jadi pilihan yang terbaik yang mana, disesuaikan dengan kondisi masing-masing keluarga. Apabila memungkinkan, bila punya kemampuan finansial berlebih, bisa mengajak orang tua secara bersama-sama menunaikan ibadah haji tentu lebih utama. Bismillah, mari banyak berdoa kepada Allah agar dimampukan berhaji bersama orangtua.
Wujudkan langkah pertama berhaji plus maupun furoda dengan kontak tim CSO Jejak Imani yang fast response dan informatif. Insya Allah setiap tahun, Jejak Imani memberangkatkan jamaah haji dari berbagai daerah Indonesia bahkan dari luar negeri juga ada.
Jadi tunggu apalagi? Yuk tanya dulu, konsultasi gratis.
Bagikan:
Artikel Lainnya
Jumat, 22 Desember 2023
Apa Itu Wukuf? Simak Waktu, Lokasi & Tata Cara Wukuf di Sini
Pemerintah Arab Saudi menetapkan Hari Raya Idul Adha pada 28 Juni sehingga, kegiat...
Minggu, 31 Maret 2024
Ramadhan Sebagai Momentum Penguatan Tauhid (Bagian 2)
Artikel ini merupakan kelanjutan pembahasan korelasi antara Ramadhan beserta seluruh rangkaian ibadahnya dengan Tauhid kepada Allah ﷻ . Sebe...
Senin, 11 Maret 2024
Mau Tau Hasil Sidang Isbat Ramadhan 2024? Cek di Jejak Imani
Kementerian Agama RI telah mengumumkan hasil sidang Isbat Ramadhan 2024 pada hari Minggu, 10 Maret 2024. Awal ramadhan 2024 atau tangg...
Senin, 15 Januari 2024
Bagaimana Tata Cara Sa'i? Lengkap Beserta Definisi & Doa Sa'i
Sa’i adalah salah satu rukun haji dan umroh yang tidak boleh ditinggalkan supaya m...