Ingin dapat penawaran khusus untuk Anda? Konsultasi sekarang!

Kota Kuno Madain Saleh, Apakah Benar Terkutuk?

26 October 2025 ditinjau oleh Tim Khidmat jejak imani

article-thumbnail

Di tengah hamparan gurun tandus barat laut Arab Saudi, berdiri peninggalan batu kolosal bernama Madain Saleh situs purbakala yang indah sekaligus misterius. Ukiran-ukiran megah di tebing batu, lorong makam kuno, dan riwayat-riwayat sahih yang melekat padanya membuat banyak orang bertanya: apakah tempat ini benar-benar terkutuk?

Dalam diskursus keislaman dan wisata sejarah, Madain Saleh sering menjadi perdebatan antara menghormati jejak peradaban masa lalu dan menaati nasihat agama tentang tempat yang dikaitkan dengan umat yang dibinasakan. Artikel ini akan mengupas asal-usul, fakta sejarah, status lokasi, serta pandangan Islam mengenai “kutukan” dan kebolehannya untuk dikunjungi.

Apa Itu Madain Saleh

Madain Saleh (مدائن صالح) berarti “kota-kota milik Saleh.” Dalam literatur Islam, ia juga disebut Al-Ḥijr (الحِجْر) sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:

وَلَقَدْ كَذَّبَ أَصْحَابُ ٱلْحِجْرِ ٱلْمُرْسَلِينَ

“Dan sesungguhnya penduduk kota Al-Hijr telah mendustakan para rasul.” (QS. Al-Hijr: 80)

Tempat ini dipercaya sebagai kawasan tempat tinggal kaum Tsamud, kaum Nabi Saleh عليه السلام. Ibnu Katsir menyebut kaum Tsamud sebagai keturunan Iram bin Sam bin Nuh—bagian dari bangsa Arab asli yang mendiami wilayah antara Hijaz dan Tabuk (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 1/150).

Dalam catatan arkeologi, Al-Hijr juga merupakan salah satu kota penting dari kerajaan Nabathah (Nabatean) yang berkembang sekitar abad ke-1 SM hingga abad ke-1 M. Beberapa peneliti berpendapat bahwa struktur yang kini terlihat di Madain Saleh lebih banyak peninggalan Nabathah daripada kaum Tsamud yang hidup jauh lebih awal.

Sejarah Madain Saleh

Nabi Saleh diutus kepada kaum Tsamud untuk mengajak mereka menyembah Allah dan meninggalkan berhala. Sebagai bukti kenabian, Allah mengeluarkan seekor unta betina dari batu, namun kaum Tsamud membunuhnya (عَقَرُوا النَّاقَةَ). Maka turunlah azab berupa suara menggelegar yang memusnahkan mereka, sebagaimana firman Allah:

فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ

“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, lalu jadilah mereka mayat bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (QS. Hud: 67)

Sementara dari perspektif arkeologi, tahap puncak Madain Saleh sebagai kota Nabathah berkisar abad ke-1 SM hingga abad ke-1 M, dan kemudian pusatnya menurun setelah wilayah tersebut diintegrasikan ke wilayah Romawi sekitar tahun 106 M. Beberapa peneliti menyebut bahwa meskipun situs ini sekarang diasosiasikan dengan kaum Tsamud, sebagian besar struktur yang kita lihat adalah dari zaman Nabathah, bukan dari periode Tsamud yang jauh lebih awal.

Lokasi Madain Saleh

Madain Saleh terletak di wilayah Al-‘Ula (العُلا), antara Madinah dan Tabuk. Situs ini merupakan situs Warisan Dunia UNESCO pertama di Arab Saudi yang ditetapkan pada tahun 2008 dan mencakup lebih dari 150 fasad makam, sistem irigasi, serta jalur perdagangan kuno.

Majelis Tinggi Ulama Arab Saudi menyebutkan bahwa Al-Hijr juga dikenal sebagai Qura Saleh atau Adal, di mana terdapat sebuah gunung bernama Anan yang diyakini terdapat masjid Nabi Saleh yang dipahat di batu (Abhas Haiah Kibar al-‘Ulama, vol. 3, hlm. 90).

Menurut Dr. Jawwad Ali, “Al-Quran tidak menyebutkan secara rinci lokasi tempat tinggal kaum Tsamud, namun dari ayat: “Dan kaum Tsamud yang telah memahat batu-batu di lembah,” tampak bahwa tempat tinggal mereka berada di daerah pegunungan atau di dataran tinggi yang berbatu-batu.” (Al-Mufashal fii Tarikh Al Arab Qabla Al Islam, 1/323). Namun demikian, banyak diantara para sejarawan yang meyakini bahwa tempat yang dimaksud terletak di Wadi Al Qura.

Apakah Madain Saleh Terkutuk?

Ketika Rasulullah ﷺ melewati wilayah Al-Hijr dalam perjalanan menuju Tabuk, beliau memperingatkan para sahabat agar berhati-hati. Dalam hadits sahih disebutkan:

لاَ تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلاَّ أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، أَنْ يُصِيبَكُمْ مَا أَصَابَهُمْ

Artinya: “Janganlah kalian masuk ke tempat orang-orang yang diazab itu kecuali dalam keadaan menangis, agar kalian tidak tertimpa seperti mereka.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam hadits lainnya, diriwayatkan dari sahabat Ibnu Umar ra:

مَرَرْنَا مع رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ علَى الحِجْرِ، فَقالَ لَنَا رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: لا تَدْخُلُوا مَسَاكِنَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ، إلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ حَذَرًا، أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ ما أَصَابَهُمْ ثُمَّ زَجَرَ فأسْرَعَ حتَّى خَلَّفَهَا

Artinya: Kami bersama Rasulullah melintas di Al-Hijr, lalu Rasulullah bersabda kepada kami: "Janganlah kalian memasuki tempat-tempat tinggal orang yang menzalimi diri mereka sendiri kecuali kalian menangis karena khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa mereka." Beliau kemudian menghalau lalu cepat-cepat pergi hingga meninggalkan kami. (HR. Bukhari & Muslim)

Tidak ditemukan diksi yang secara spesifik menyebutkan bahwa tempat ini “terkutuk” dan mendatangkan kutukan bagi yang mengunjunginya. Hadits ini tidak menyebut Madain Saleh sebagai tempat terkutuk dalam pengertian mistik (misalnya seseorang yang memasukinya akan sial, celaka, dll), tetapi menegaskan bahwa wilayah tersebut adalah saksi sejarah kaum yang diazab, sehingga harus dikunjungi dengan perasaan takut dan penuh ibrah. Artinya, “kutukan” di sini bukan makna aktif atau supranatural, melainkan peringatan moral agar manusia tidak sombong seperti kaum Tsamud dan menghindari perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Tsamud dan dapat mengundang murka Allah.

Namun demikian, Hadits tersebut secara jelas melarang memasuki tempat-tempat kaum yang diazab, kecuali dalam keadaan paling khusyuk dan penuh pertimbangan, yaitu menghadirkan rasa takut kepada Allah dan takut akan azab-Nya yang menimpa orang-orang yang ada di tempat itu, dan bahwa memasuki dengan cara apa pun dikhawatirkan akan mendatangkan siksaan yang menimpa mereka. (Fath Al Bari li Ibnu Batal, 3/237)

Apakah Madain Saleh Boleh Dikunjungi?

Para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama dari mazhab Syafi‘i, dan Hanbali, larangan memasuki tempat kaum terdahulu bersifat makruh, bukan haram, selama tujuannya untuk mengambil pelajaran. Di antaranya ulama dari madzhab Syafi’i, Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (3/159) menjelaskan bahwa larangan Nabi ﷺ muncul karena tempat itu adalah lokasi turunnya murka Allah, bukan karena ada “kutukan” permanen. Begitupula yang disampaikan oleh Mansur bin Yunus Al Hanbali mengenai makruhnya memasuki tempat diazabnya kaum Tsamud kecuali untuk mengambil ibrah atas azab yang menimpa mereka. (Kasyf Al Qina’ ‘an Matn Al Iqna’, 4/186).

Adapun dalam mazhab Maliki, bentuk larangan dalam hadits Nabi ini adalah larangan yang sangat keras Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Al-‘Abbas Al Qurafi dalam kitabnya Al Zakhirah (13/352).

Imam Qurthubi menengahi berbagai pandangan ulama ini dengan pendapatnya: “Memasuki tempat-tempat tersebut hukumnya Makruh, dan sebagian ulama mendasarkannya pada masuknya ke kuburan orang-orang kafir. Jika seseorang memasuki salah satu tempat dan kuburan tersebut, maka ia harus melakukannya dengan cara yang diajarkan oleh Nabi, dengan penuh pertimbangan, rasa takut dan bersegera.” (Jami’ li Ahkam Al-Quran, 10/46)

Syaikh Shalih al-Munajjid juga menegaskan: “Jika seseorang mengunjungi Madain Saleh dengan niat merenungi kebesaran Allah dan mengambil pelajaran, maka diperbolehkan. Namun, bila hanya untuk hiburan atau wisata biasa, sebaiknya dihindari.” (Islamqa, Fatwa No. 305435)

Penutup

Madain Saleh bukan sekadar situs batu yang megah, tetapi cermin sejarah tentang keangkuhan manusia dan akibat dari melupakan Tuhan. Islam tidak melarang belajar dari masa lalu, tapi mengingatkan agar setiap langkah di tanah seperti Al-Hijr disertai rasa takut dan kesadaran.

Bukan “kutukan” yang melekat di tempat itu, melainkan peringatan abadi bagi manusia agar tak mengulangi kesalahan kaum yang binasa.

Dilihat 51 kali