Bolehkah Umat Muslim Memberi Hadiah Natal? Ini Penjelasannya
28 November 2025 ditinjau oleh Tim Khidmat jejak imani

Perayaan hari raya besar di Indonesia seperti Idul Fitri, Natal dan Imlek, selalu dihiasi tradisi sosial yang kuat, terutama semangat memberi hadiah serta mempererat hubungan. Memberi hadiah natal atau perayaaan besar lainnya ini menjadi bagian penting budaya kita, menandai hadirnya kembali kebersamaan dan rasa saling menghormati. Dahulu, praktik berbagi dilakukan secara sederhana dan personal, misalnya lewat hidangan rumahan yang dibuat dengan penuh kehangatan atau pemberian salam tempel (angpao) kepada anak-anak sebagai simbol keberkahan.
Seiring perubahan kondisi sosial dan ekonomi di era modern, tradisi ini mengalami transformasi. Ungkapan perhatian dan kasih sayang kini kerap diwujudkan dalam bentuk hampers. Pergeseran ini bukan sekadar mengikuti tren, tetapi juga menunjukkan cara baru masyarakat dalam menjaga komunikasi.
Hampers yang dirangkai dengan rapi dan estetis menjadi perantara istimewa untuk menggantikan pertemuan langsung yang terkadang sulit direalisasikan. Setiap bingkisan yang dikirim membawa pesan persahabatan, penghargaan bagi kerabat atau kolega, serta doa terbaik yang disampaikan dengan cara yang lebih elegan.
Namun, di balik tradisi baik yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat ini, ada norma-norma agama yang patut diperhatikan. Bagi seorang Muslim, syariat Islam menjadi landasan utama dalam bertindak dan berucap di sepanjang hidupnya. Pun mengenai bermuamalah dengan pemeluk agama lain, ada batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan. Lalu, bagaimanakah hukumnya memberi hadiah natal?
Hukum Memberi Hadiah Pada Non-Muslim dalam Kehidupan Sehari-hari
Pada dasarnya memberi atau menerima hadiah dari non muslim itu dibolehkan selama barang tersebut halal dan mubah tanpa ada maksud untuk merayakan hari besar tertentu. Sebagaimana termaktub dalam hadits Shahih Bukhari nomor 886 dan Muslim nomor 2068 dari Abdullah bin Umar : bahwa Umar bin Al-Khattab melihat pakaian sutra dijual dekat masjid dan menyarankan Rasulullah ﷺ membelinya untuk hari Jumat dan menyambut tamu. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya yang memakainya adalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat." Beliau kemudian menerima pakaian serupa dan memberikan satu kepada Umar. Terkejut, Umar mempertanyakan pemberian itu karena larangan sebelumnya. Rasulullah ﷺ menjelaskan, "Sesungguhnya aku tidak memberikannya kepadamu untuk engkau pakai." Akhirnya, Umar memberikan pakaian sutra hadiah tersebut kepada saudaranya yang masih musyrik di Makkah.
Baca juga : Ikuti Cara Berdagang Untuk Hari Perayaan Selain Islam!
Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa hukum asal memberikan hadiah / hampers kepada orang non-Muslim adalah dibolehkan, selama barang yang dihadiahkan itu adalah barang yang halal atau mubah. Perbuatan Umar bin Al-Khattab yang memberikan pakaian sutra hadiah dari Nabi ﷺ kepada saudaranya yang masih musyrik di Makkah, menjadi pedomannya.
Apakah Orang Islam Boleh Memberi Hadiah Natal?
Adapun mengenai memberikan hadiah kepada non-Muslim di hari raya mereka, seperti dalam perayaan hari Natal, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Sebab, di dalamnya terkandung persetujuan dan pengakuan terhadap agama mereka yang batil, karena hari raya keagamaan merupakan bagian dari syiar agama mereka. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim tidak diperbolehkan untuk memberi hadiah pada perayaan mereka atau menghadiri perayaan tersebut.
Baca juga : Muslim Ucapkan Natal ke Kerabat, Apakah Boleh?
Dalam kitab Iqtidho al-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa : “berpartisipasi dalam hari raya non-Muslim sama bahayanya dengan menyetujui syariat agama mereka lainnya. Menyetujui hari raya secara penuh diartikan sebagai persetujuan terhadap kekufuran. Hal ini karena hari raya adalah syiar yang paling jelas dan menjadi pembeda utama antara syariat agama. Dengan demikian, terlibat dalam hari raya tersebut berarti menyetujui syiar kekafiran yang paling spesifik, suatu tindakan yang dikhawatirkan dapat membawa pelakunya pada kekafiran secara keseluruhan, bergantung pada kondisi dan niatnya.”
Pendapat yang dikemukakan ini merupakan pendapat yang disepakati oleh banyak ulama baik dari kalangan salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer). Begitu juga fatwa dari banyak lembaga fatwa terkemuka seperti : Lembaga Fatwa Arab Saudi, al-Lajnah ad-Daimah Lil Ifta, Lembaga Fatwa Indonesia, MUI dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dalam menghadapi momentum Natal, umat Muslim perlu menunjukkan sikap arif dan seimbang. Tindakan berbagi perlu dipertimbangkan berdasarkan fungsinya. Jika umat Islam memberi hadiah murni sebagai apresiasi dan bentuk persahabatan yang kebetulan waktunya berdekatan, bukan untuk merayakan syiar agama lain, maka hal itu dibolehkan. Sebaliknya jika memberi hadiah diniatkan secara tegas untuk merayakan hari raya keagamaan lain, maka mengikuti pendapat yang melarang menjadi pilihan yang lebih hati-hati, guna menjaga kemurnian akidah dan menghindari tasyabbuh. Dengan demikian, menjalin hubungan sosial yang baik harus selalu dipandu oleh niat tulus dan kesadaran akan batasan-batasan syariat.
Semoga kita selalu dijaga agar senantiasa tetap berada di jalan Allah. Selain dengan berikhtiar untuk terus mencari ilmu dengan membaca artikel ini, jangan lupa berdoa untuk terus mendapat hidayah. Salah satu tempat berdoa yang mustajab adalah Multazam di Baitullah, untuk berkunjung ke sana Anda dapat melakukan perjalanan ibadah haji dan umroh bersama jejak imani. Yuk segera konsultasikan kebutuhan perjalanan ibadah Anda bersama tim jejak imani.
Wallahu a’lam.
Dilihat 236 kali


